Bingung cari tempat nongkrong yang murah meriah, kamu bisa datang ke Tomboan Ngawonggo. Tomboan Ngawonggo merupakan tempat nongkrong di Malang yang terletak di Jalan Rabidin Dusun Nanasan, Ngawonggo, Kecamatan Tajinan, Malang, Jawa Timur. Tempat nongkrong ini cukup unik karena dikonsep dengan bayar makanan dan minuman seikhlasnya.
Jadi semua hidangan baik makanan dan minuman tidak diberi patokan harga untuk pengunjung. “Konsepnya bukan warung atau cafe. Kami sediakan suguhan. Kalau mau partisipasi (uang) ditaruh aja di kotak kasir yang telah disediakan,” kata Ketua Pokdarwis Desa Ngawonggo, Rahmat Yasin saat ditemui pada Jumat (6/11/2020). Kata Rahmat, ide membuka tempat tongkrongan dengan konsep berbeda, berawal dari ide memanfaatkan potensi sumber air.
Tomboan memang terletak tak jauh dari sumber air bersejarah yang dikeramatkan warga sekitar. “Awalnya ada pentirtaan yang pernah viral pada tahun 2017. Kemudian kami bersama warga yang peduli akan adanya pentirtaan akhirnya membuat prasarana,” ujar pria berambut gondrong itu. Sayang jika lahan sekitar sumber air tak dimanfaatkan, akhirnya Rahmat bersama warga desa terbesit sebuah ide.
Kemudian ide tersebut dituangkan Rahmat bersama warga untuk bergotong royong membuat fasilitas tempat duduk dan dapur dari bahan kayu. “Sekitar 7 bulan lalu kami mencoba membuat suguhan. Awalnya minuman lalu tambahan jajanan dan makanan, sampai sekarang,” beber Rahmat. Setelah fasilitas tempat nongkrong sudah kelar, Rahmat kemudian membuka kunjungan bagi masyarakat yang ingin bersantai di bawah suasana sejuk pohon bambu.
Rahmat menamai tempat tongkrongan itu dengan sebutan Tomboan Ngawonggo. Ia kemudian membuat akun Instagram agar Tomboan semakin masif dikenal. “Tomboan itu artinya tumbuh tumbuhan. Ngawonggo itu nama desa di sini. Kami membangun ini dengan dana swadaya dari warga,” jelas Rahmat.
Menu yang tersaji di Tomboan bermacam macam. Mayoritas merupakan sajian tradisional. “Minuman ada wedang ngawonggo, jeruk, jahe, tomboan abang, tomboan hijau dan wedang kopi”
“Lalu kalau jajanan ada 11 macam makanan tradisional, seperti jemblem dan lain lain,” ungkap Rahmat. Meski tak memasang harga pada setiap menu yang disajikan, Rahmat mengaku tak pernah merasa mengalami kerugian. “Kalau rugi, kami gak pernah berdoa rugi. Hasilnya dicukupi. Kalau ada lebih kami manfaatkan,” ucap Rahmat.
Rahmat tak menyangka ide yang muncul kala itu malah mendapat respon positif dari masyarakat. “Ada respon positif. Sangat senang sekali. Warga sekitar kami berdayakan untuk membuat jajan,” terangnya. Respon bagus tak hanya diluapkan masyarakat sekitar sumber air.
Ritme kunjungan yang tinggi setiap hari jadi bukti Tomboan semakin dikenal oleh warga Malang Raya. “Hari Minggu paling ramai. Bisa 3 kali lipat. Hari biasa 100 orang, kalau akhir pekan bisa 300 orang,” papar Rahmat. Kini, Rahmat bersama warga sedang merencanakan pengembangan Tomboan agar lebih baik lagi.
“Ke depan kami manfaatkan SDA (sumber daya alam) yang ada. Tidak sembarangan tapi sesuai tatan. Sudah ada konsep desainnya,” tutup Rahmat.